Beberapa
model pembelajaran dalam pendidikan nilai moral
Penyajian materi
pendidikan moral di sekolah pada saat ini tampaknya lebih berorientasi pada
penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang
mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat,
sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang
terjadi dalam masyarakat. Siswa lebih banyak mengedepankan untuk mengahadapi
ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial di kehidupan
mereka sehari-hari. Materi pelajaran ppkn dirasakan sebagai beban, dihapalkan
dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan dan tidak diamalkan dalam
perilaku kehidupan sehari-hari.
Dunia pendidikan
juga telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah
memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan
pengembangan sikap atau nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia
pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan
pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain, tidak mungkin bahwa
pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti pendidikan
kewarganegaraan (PKn) dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan
pada asfek kognitif daripada asfek afektif dan psikomotor. Oleh karena itu
dalam penyampaian materi PKn harus digunakan model pembelajaran yang dapat
mengembangkan moral dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik, serta penilaian
yang didasarkan pada nilai afektifnya.
Dalam
pkn dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification
Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang
membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). Vct dianggap cocok digunakan
dalam pembelajaran pkn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif. Pola
pembelajaran vct dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena pertama,
mampu membina dan mempribadikan (personalisasi) nilai-moral. Kedua, mampu
mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan nilai-moral yang disampaikan.
Ketiga, mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai-moral diri siswa dalam
kehidupan nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan
mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, mampu
memberikan pengalaman belajar berbagai kehidupan. Keenam, mampu menangkal,
meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai-moral naif yang ada
dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. Ketujuh, menuntun
dan memotivasi hidup layak dan bermoral tinggi.
Teknik
mengklarifikasi nilai (value claification technique) suatu model pembelajaran
dengan teknik mengali untuk mengklarifikasi nilai, Beragam jenis dan bentuk
pembelajaran dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik dan tujuan
pendidikan tersebut. Antara lain dilengkapi beragam teknik dan permainan antara
lain memuat kajian dilema moral sebagai media stimulus pembelajarannya.
Tujuan
model pembelajaran ini sebagai media internalisasi dan personalisasi suatu
nilai dan moral. Vct itu sendiri sebenarnya salah satu pendekatan dalam
pendidikan nilai yang memberikan bantuan dalam proses pemahaman dan penyadaran
pemilikan nilai serta kemampuan untuk menggunakannya dalam memecahkan
masalah-masalah yang kehidupan yang berhubungan dengan sistem nilai. Hal ini
ditujukan membantu untuk memilih perbuatan yang terbaik yang mendukung
penampilan prilaku akhlak mulia sebagai warga negara,
Proses
penyadaran dengan klarifikasi nilai dipandang efektif dengan tujuan memperkokoh
nilai dan moral pada peserta didik. Dengan demikian VCT mengutamakan
keterlibatan intelektual emosional dan kompetensi sosial dari peserta didik.
Tujuan akhir bagaimana moral itu menjadi nilai yang mempribadi pada peserta
didik.
VCT
dikembangkan atas prinsip tidak bebas nilai, akan tetapi sebaliknya dalam
kehidupan tersebut penuh dengan ragam nilai. Sementara itu manusia tidak dapat
bebas dari nilai tersebut,
Pada
pokoknya VCT meliputi proses memperkuat pengalaman belajar nilai melalui
kesempatan untuk berpikir nilai, merasakan kegunaan dan manfaat nilai dan
pengalaman mengomunikasikan nilai yang dimilikinya serta melaksanakannya dalam
kehidupan bersama.
VCT
tidak mengembangkan nilai-nilai yang bersifat mutlak seperti yang bersumber
dari agama karena itu sudah seharusnya mutlak untuk ditaati oleh para
penganutnya. Akan tetapi VCT dapat mengembangkan nilai-nilai yang relatif
dengan menggunakan nilai-nilai yang bersumber dari agama sebagai dasar
pertimbangannya.
Khususnya
dalam moral pancasila karena sila pertama ketuhanan yang maha esa. Tuntutan ini
sekaligus merupakan ciri khusus pkn yang dikembangkan dengan berorientasi pada
pendidikan nilai dan moral pancasila. VCT berangkat dari anggapan bahwa nilai
tidak dapat dipaksakan akan tetapi dipilih, tidak cukup dicontohkan akan tetapi
harus dirasakan, dengan demikian lebih menekankan kepada proses pembelajaran.
Dengan demikian menekankan kepada pengalaman, pembelajaran adalah proses
pengalaman belajar.
Dengan
pengalaman akan membentuk kemampuan kejelasan, dan kemampuan untuk menggunakannya
sebagai dasar memilih dalam berprilaku. Pengalaman pembelajaran ini mencakup
kegiatan pemilihan (choosing), merasakan (prizing) dan melakukan (acting). Vct
dipandang unggul sebagai sbm sehubungan warga negara senantiasa dihadapkan
kepada perubahan masyarakat yang sangat cepat yang juga menyangkut perubahan
sistem nilainya.
John
jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan vct dalam tujuh tahap
yang dibagi dalam 3 tingkat :
1. Kebebasan memilih
pada tingkat ini terdapat 3 tahap :
pada tingkat ini terdapat 3 tahap :
a. Memilih
secara bebas
b. Memilih
dari beberapa alternative
c. Memilih
setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai
akibat pilihannya.
2. Menghargai
terdiri dari 2 tahap pembelajaran :
terdiri dari 2 tahap pembelajaran :
a. Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai
yang menjadi pilihannya.
b. Menegaskan
nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depa umum.
3. Berbuat
terdiri atas :
terdiri atas :
a. Kemauan
dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b. Mengulangi
prilaku sesuai dengan nilai pilihannya
VCT
menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut
anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan vct melalui proses dialog :
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan vct melalui proses dialog :
•
hindari penyampaian pesan melalui
proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral
•
jangan memaksa siswa untuk memberi respons
tertentu apabila siswa tidak menghendakinya.
•
usahakan dialog dilaksanakan secara
bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur
dan apa adanya.
•
dialog dilaksanakan kepada individu,
bukan pada kelompok kelas.
•
hindari respons yang dapat
menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensive
•
tidak mendesak siswa pada pendirian
tetentu
•
jangan mengorek alasan siswa lebih
dalam.
Ada juga Model strategi pembelajaran sikap (afektif)
setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun contoh model strategi pembentukan sikap :
setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun contoh model strategi pembentukan sikap :
1. model konsiderasi
model konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh mc. Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :
model konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh mc. Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :
a. Menghadapkan
siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Menyuruh
siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang
tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan,
kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh
siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang terjadi.
d. Mengajak
siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat katagori dari setiap
respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong
siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang
diusulkan siswa.
f. Mengajak
siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandangan untuk menambah
wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang
dimilikinya.
g. Mendorong
siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan
pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
Sebenarnya
banyak sekali model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran PKn,
namun tidak banyak model pembelajaran yang mengacu pada pendidikan nilai dan
moral. Dalam pkn
dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification
Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang
membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). Vct dianggap cocok digunakan
dalam pembelajaran pkn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif.
Namun ada
beberapa kesulitan dalam pembelajaran afektif yaitu yang pertama dikarenakan
selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung
diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses
pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria
kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Pendidikan kewarganegaraan
semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena itu
keberhasilannya diukur dari afektif juga.
Yang kedua,
sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Artinya, walaupun di sekolah guru berusaha
memberikan contoh baik, akan tetapi tidak didukung oleh lingkungan yang baik
sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit
dilaksanakan. Oleh karena itu semua pihak harus ikut berpartisipasi dalam
proses pembentukan karakter anak dan kehidupan sehari-hari.
dan yang
terakhir pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter
anak. Hal ini dapat diminimalisir dengan cara kita mengontrol dari anak didik
dalam penggunaan media komunikasi dan informasi serta peran orang tua dalam mengawasi
perkembangan anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ilmukami.co.cc/2010/11/strategi-pembelajaran-afektif.html
http://pustaka.ut.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar