Total Tayangan Halaman

Sabtu, 14 April 2012

Model Pembelajaran dalam Pendidikan nilai dan Moral


Beberapa model pembelajaran dalam pendidikan nilai moral


Penyajian materi pendidikan moral di sekolah pada saat ini tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat. Siswa lebih banyak mengedepankan untuk mengahadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial di kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran ppkn dirasakan sebagai beban, dihapalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan dan tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Dunia pendidikan juga telah melupakan tujuan utama pendidikan yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap atau nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan sangat meremehkan mata-mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain, tidak mungkin bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti pendidikan kewarganegaraan (PKn) dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada asfek kognitif daripada asfek afektif dan psikomotor. Oleh karena itu dalam penyampaian materi PKn harus digunakan model pembelajaran yang dapat mengembangkan moral dan perilaku siswa ke arah yang lebih baik, serta penilaian yang didasarkan pada nilai afektifnya.
Dalam pkn dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). Vct dianggap cocok digunakan dalam pembelajaran pkn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif. Pola pembelajaran vct dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena pertama, mampu membina dan mempribadikan (personalisasi) nilai-moral. Kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan nilai-moral yang disampaikan. Ketiga, mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai-moral diri siswa dalam kehidupan nyata. Keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya. Kelima, mampu memberikan pengalaman belajar berbagai kehidupan. Keenam, mampu menangkal, meniadakan, mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai-moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang. Ketujuh, menuntun dan memotivasi hidup layak dan bermoral tinggi.
Teknik mengklarifikasi nilai (value claification technique) suatu model pembelajaran dengan teknik mengali untuk mengklarifikasi nilai, Beragam jenis dan bentuk pembelajaran dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik dan tujuan pendidikan tersebut. Antara lain dilengkapi beragam teknik dan permainan antara lain memuat kajian dilema moral sebagai media stimulus pembelajarannya.
Tujuan model pembelajaran ini sebagai media internalisasi dan personalisasi suatu nilai dan moral. Vct itu sendiri sebenarnya salah satu pendekatan dalam pendidikan nilai yang memberikan bantuan dalam proses pemahaman dan penyadaran pemilikan nilai serta kemampuan untuk menggunakannya dalam memecahkan masalah-masalah yang kehidupan yang berhubungan dengan sistem nilai. Hal ini ditujukan membantu untuk memilih perbuatan yang terbaik yang mendukung penampilan prilaku akhlak mulia sebagai warga negara,
Proses penyadaran dengan klarifikasi nilai dipandang efektif dengan tujuan memperkokoh nilai dan moral pada peserta didik. Dengan demikian VCT mengutamakan keterlibatan intelektual emosional dan kompetensi sosial dari peserta didik. Tujuan akhir bagaimana moral itu menjadi nilai yang mempribadi pada peserta didik.
VCT dikembangkan atas prinsip tidak bebas nilai, akan tetapi sebaliknya dalam kehidupan tersebut penuh dengan ragam nilai. Sementara itu manusia tidak dapat bebas dari nilai tersebut,
Pada pokoknya VCT meliputi proses memperkuat pengalaman belajar nilai melalui kesempatan untuk berpikir nilai, merasakan kegunaan dan manfaat nilai dan pengalaman mengomunikasikan nilai yang dimilikinya serta melaksanakannya dalam kehidupan bersama.
VCT tidak mengembangkan nilai-nilai yang bersifat mutlak seperti yang bersumber dari agama karena itu sudah seharusnya mutlak untuk ditaati oleh para penganutnya. Akan tetapi VCT dapat mengembangkan nilai-nilai yang relatif dengan menggunakan nilai-nilai yang bersumber dari agama sebagai dasar pertimbangannya.
Khususnya dalam moral pancasila karena sila pertama ketuhanan yang maha esa. Tuntutan ini sekaligus merupakan ciri khusus pkn yang dikembangkan dengan berorientasi pada pendidikan nilai dan moral pancasila. VCT berangkat dari anggapan bahwa nilai tidak dapat dipaksakan akan tetapi dipilih, tidak cukup dicontohkan akan tetapi harus dirasakan, dengan demikian lebih menekankan kepada proses pembelajaran. Dengan demikian menekankan kepada pengalaman, pembelajaran adalah proses pengalaman belajar.
Dengan pengalaman akan membentuk kemampuan kejelasan, dan kemampuan untuk menggunakannya sebagai dasar memilih dalam berprilaku. Pengalaman pembelajaran ini mencakup kegiatan pemilihan (choosing), merasakan (prizing) dan melakukan (acting). Vct dipandang unggul sebagai sbm sehubungan warga negara senantiasa dihadapkan kepada perubahan masyarakat yang sangat cepat yang juga menyangkut perubahan sistem nilainya.
John jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan vct dalam tujuh tahap yang dibagi dalam 3 tingkat :
1.       Kebebasan memilih
pada tingkat ini terdapat 3 tahap :
a.       Memilih secara bebas
b.      Memilih dari beberapa alternative
c.       Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
2.      Menghargai
terdiri dari 2 tahap pembelajaran :
a.        Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya.
b.      Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di depa umum.
3.      Berbuat
terdiri atas :
a.       Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya
b.      Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan vct melalui proses dialog :
         hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan-pesan moral
          jangan memaksa siswa untuk memberi respons tertentu apabila siswa tidak menghendakinya.
         usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
         dialog dilaksanakan kepada individu, bukan pada kelompok kelas.
         hindari respons yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensive
         tidak mendesak siswa pada pendirian tetentu
         jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

Ada juga Model strategi pembelajaran sikap (afektif)
setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematis. Adapun contoh model strategi pembentukan sikap :
1.       model konsiderasi
model konsiderasi (the conderation model) dikembangkan oleh mc. Paul, seorang humanis. Pembelajaran moral siswa menurutnya ialah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang terjadi.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat katagori dari setiap respons yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f.       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandangan untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Sebenarnya banyak sekali model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran PKn, namun tidak banyak model pembelajaran yang mengacu pada pendidikan nilai dan moral. Dalam pkn dikenal suatu model pembelajaran, yaitu model VCT (Value Clarification Technique/Teknik Pengungkapan Nilai), yaitu suatu teknik belajar-mengajar yang membina sikap atau nilai moral (aspek afektif). Vct dianggap cocok digunakan dalam pembelajaran pkn yang mengutamakan pembinaan aspek afektif.
Namun ada beberapa kesulitan dalam pembelajaran afektif yaitu yang pertama dikarenakan selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan kognitif). Pendidikan kewarganegaraan semestinya diarahkan untuk pembentukan sikap dan moral, oleh karena itu keberhasilannya diukur dari afektif juga.
Yang kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Artinya, walaupun di sekolah guru berusaha memberikan contoh baik, akan tetapi tidak didukung oleh lingkungan yang baik sekolah maupun lingkungan masyarakat, maka pembentukan sikap akan sulit dilaksanakan. Oleh karena itu semua pihak harus ikut berpartisipasi dalam proses pembentukan karakter anak dan kehidupan sehari-hari.
dan yang terakhir pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Hal ini dapat diminimalisir dengan cara kita mengontrol dari anak didik dalam penggunaan media komunikasi dan informasi serta peran orang tua dalam mengawasi perkembangan anaknya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.ilmukami.co.cc/2010/11/strategi-pembelajaran-afektif.html
http://pustaka.ut.ac.id/

Tidak ada komentar: